Diiringi Gamelan, Ricik-Ricik Banyumasan Mengalun Manis di Swiss
loading...
A
A
A
SION - Bagi Anda warga Jawa Tengah, terutama yang menggunakan bahasa ngapak sehari-hari, tahukah lagu Ricik-Ricik Banyumasan? Tidak begitu familiar memang tapi tembang ini ternyata dinyanyikan oleh anak-anak kecil di Swiss.
Ricik kumricik gerimise wis teko
Sedelo maning bapake wis teko
Nyong kaget aduh riko mbeto nopo
Bungkus petak niku isi nopo
Itu sepenggal lirik lagunya. Isinya repetoire dolanan, mengisahkan gerimis yang jatuh saat petang, ketika bapak menjelang pulang. Semua dalam bahasa Banyumas, bahasa yang seibu dengan Jawa, namun dekat bahasa ngapak ngapak wong Tegal, Jawa Tengah.
Pada perkembangan zaman, lagu itu bisa dilanjutkan dengan kisah kehidupan sehari-hari, bahkan diselipkan bahasa Arab. Tergantung kebutuhan. Melihat situasi dan kondisi di lapangan.
Di Sion, Wallis, Swiss Barat, Ricik Ricik Banyumasan berkumandang. Ya, Sion, Swiss, bukan Banyumas. Penabuh dan sindennya bermata biru, berkulit pucat. Usianya tidak lebih dari 25 tahun, bahkan ada yang masih 6 tahun. Ada yang berblangkon cokelat, selendang batik melingkar di leher mereka.
Adalah Sekolah Musik 123 yang mencoba memainkan lancaran dolanan tersebut. Sebanyak 28 murid sekolah yang dipimpin Nicole Coppey itu, memainkannya penuh konsentrasi, sekaligus lepas dalam suasana ceria. "Persiapannya panjang," kata Timothee Coppey, Direktur Artistik Program Studi Gamelan Sekolah Musik 123.
Sebab, imbuh Timothee, tidak semua penabuh gamelannya memiliki pengalaman dengan gamelan Jawa. "Bahkan ada yang tidak pernah sama sekali," katanya.
Juga, usia mereka ada yang baru menginjak 6 atau 7 tahun. Khusus untuk melatih lafal Ricik-Ricik Banyumasan, yang bagi orang asing sangat menyiksa lidah, Timothee mengharuskan anak asuhnya menghafalkan di rumah. "Kami merekam lagu tersebut dengan suara asli orang Indonesia, dan dengan teksnya, mereka mencoba menyanyikannya, di rumah," katanya.
Sedangkan penabuh gamelannya, berlatih rutin selama 2 bulan. "Kami saling membantu. Yang sudah pengalaman, menunjukkan bermain yang betul kepada yang lain," imbuhnya.
Beberapa penabuh gamelan, kata Timothee, juga bisa memainkan multiinstrumen. "Itu memudahkan kami memainkan repertoire ini," katanya.
Linggawaty Hakim, mantan Dubes RI untuk Swiss, mengaku kagum dengan permainan murid Sekolah Musik 123. "Mereka memiliki dasar sekolah musik, bukan hanya main gamelan semata. Apa yang ditampilkan, sangat mengagumkan. Ada latar belakang akademis musik, lalu main gamelan. Paduan yang sempurna," puji Linggawati.
Timothee mendalami gamelan Jawa sejak 2008. Empat kali dia melakukan perjalanan ke Indonesia untuk memperdalam pengetahuan gamelannya. Sejak usia belia, di bawah bimbingan Nicolem ibunya, dia juga sudah menekuni musik klasik di sekolah itu.
Timothee paduan musisi berlatar belakang akademis, lalu menekuni musik tradisional, gamelan Jawa khususnya. Keberadaannya, diharapkan membawa aura gamelan Jawa di Heidiland. "Instrumen ini memang sangat cocok untuk sekolah kami. Ini bukan hanya kumpulan instrumen, namun untuk memainkannya harus bersama, harmoni dan tidak bisa sendiri sendiri," katanya.
Ricik kumricik gerimise wis teko
Sedelo maning bapake wis teko
Nyong kaget aduh riko mbeto nopo
Bungkus petak niku isi nopo
Itu sepenggal lirik lagunya. Isinya repetoire dolanan, mengisahkan gerimis yang jatuh saat petang, ketika bapak menjelang pulang. Semua dalam bahasa Banyumas, bahasa yang seibu dengan Jawa, namun dekat bahasa ngapak ngapak wong Tegal, Jawa Tengah.
Pada perkembangan zaman, lagu itu bisa dilanjutkan dengan kisah kehidupan sehari-hari, bahkan diselipkan bahasa Arab. Tergantung kebutuhan. Melihat situasi dan kondisi di lapangan.
Di Sion, Wallis, Swiss Barat, Ricik Ricik Banyumasan berkumandang. Ya, Sion, Swiss, bukan Banyumas. Penabuh dan sindennya bermata biru, berkulit pucat. Usianya tidak lebih dari 25 tahun, bahkan ada yang masih 6 tahun. Ada yang berblangkon cokelat, selendang batik melingkar di leher mereka.
Adalah Sekolah Musik 123 yang mencoba memainkan lancaran dolanan tersebut. Sebanyak 28 murid sekolah yang dipimpin Nicole Coppey itu, memainkannya penuh konsentrasi, sekaligus lepas dalam suasana ceria. "Persiapannya panjang," kata Timothee Coppey, Direktur Artistik Program Studi Gamelan Sekolah Musik 123.
Sebab, imbuh Timothee, tidak semua penabuh gamelannya memiliki pengalaman dengan gamelan Jawa. "Bahkan ada yang tidak pernah sama sekali," katanya.
Juga, usia mereka ada yang baru menginjak 6 atau 7 tahun. Khusus untuk melatih lafal Ricik-Ricik Banyumasan, yang bagi orang asing sangat menyiksa lidah, Timothee mengharuskan anak asuhnya menghafalkan di rumah. "Kami merekam lagu tersebut dengan suara asli orang Indonesia, dan dengan teksnya, mereka mencoba menyanyikannya, di rumah," katanya.
Sedangkan penabuh gamelannya, berlatih rutin selama 2 bulan. "Kami saling membantu. Yang sudah pengalaman, menunjukkan bermain yang betul kepada yang lain," imbuhnya.
Beberapa penabuh gamelan, kata Timothee, juga bisa memainkan multiinstrumen. "Itu memudahkan kami memainkan repertoire ini," katanya.
Linggawaty Hakim, mantan Dubes RI untuk Swiss, mengaku kagum dengan permainan murid Sekolah Musik 123. "Mereka memiliki dasar sekolah musik, bukan hanya main gamelan semata. Apa yang ditampilkan, sangat mengagumkan. Ada latar belakang akademis musik, lalu main gamelan. Paduan yang sempurna," puji Linggawati.
Timothee mendalami gamelan Jawa sejak 2008. Empat kali dia melakukan perjalanan ke Indonesia untuk memperdalam pengetahuan gamelannya. Sejak usia belia, di bawah bimbingan Nicolem ibunya, dia juga sudah menekuni musik klasik di sekolah itu.
Timothee paduan musisi berlatar belakang akademis, lalu menekuni musik tradisional, gamelan Jawa khususnya. Keberadaannya, diharapkan membawa aura gamelan Jawa di Heidiland. "Instrumen ini memang sangat cocok untuk sekolah kami. Ini bukan hanya kumpulan instrumen, namun untuk memainkannya harus bersama, harmoni dan tidak bisa sendiri sendiri," katanya.
(abd)